Kamis, 29 Oktober 2009
JANJI YANG TERKALAHKAN
EPILOG
Aku pandangi halaman sekitar rumah masa kecilku dari ayunan kesayanganku dan sahabatku. Sama seperti dulu, yang berbeda hanyalah warna catnya yang dulunya biru muda sekarang berganti warna menjadi putih polos. Aku tahu bahwa rumah masa kecilku itu – rumah nenek - telah dihuni oleh orang lain sejak kepindahanku. Sekelebat bayangan masa laluku yang bahagia muncul, bersama sahabat dan nenek terkasihku yang aku sayangi melebihi sayangku pada kedua orangtuaku. Tapi keduanya itu telah berlalu meninggalkanku, yang tersisa hanyalah memori kebahagiaan yang masih tersimpan rapi di otakku. Kebahagiaan yang dulunya benar-benar berarti namun aku hancurkan dengan keegoisanku. Aku tahu jika aku salah, tapi semua itu sudah terlanjut hadir, tanpa bisa aku cegah. Namun aku berharap jika Tuhan mau mengabulkan doaku, aku ingin kembali ke masa lalu dan merubah semuanya, tapi hal itu tak mungkin dan tak akan pernah terjadi. Aku hanya bisa bertanya-tanya kenapa ini terjadi? Kenapa? Hanya rasa semu yang menjawabnya.
Setetes air mata meluncur kepipiku. Air mata pertama yang muncul karena penyesalanku. Di depan semua orang aku berpura-pura tegar, tapi di hati aku benar-benar rapuh. Apakah aku bisa menghadapinya?
“Raka, ayo berangkat…” suara halus dan terdengar tegar memanggilku. Cepat-cepat aku usap air mataku dengan bagian lengan atas kemejaku.
“sabar ya nak” aku pandangi sosok yang mirip sekali dengan sahabatku, namun dengan raut wajah yang lebih dewasa karena asam manis kehidupan dengan kerutan yang mulai tumbuh di wajah dan tubuhnya karena berjalannya waktu, namun di matanya ada setitik cahaya kehidupan yang mampu mengusir semua kerutan dari dirinya, cahaya kekuatan, ketegaran, dan kesabaran beliau yang tak aku miliki.
“Ayo buk” aku pun beranjak berdiri mengikuti sosok ibu yang aku impikan namun tak aku miliki, ibu sahabatku.
***
Cuaca malam ini benar-benar cerah, bintang-bintang dilangit terlihat bersinar tanpa ada sedikit pun awan yang menghalangi keindahannya, walau masih ada sisa-sisa hujan tadi siang. Aku melihat taman sekelilingku yang masih basah dan aroma hujan masih tercium harumnya dari sela-sela bunga. Aku biasanya menyukai suasana seperti ini, menikmati saat cerah setelah hujan yang jarang terjadi sambil duduk di ayunan taman rumahku. Tapi saat ini, entah mengapa suasana itu tidak mampu mengikis kesedihan antara aku dan Raka. Kami berdua masih terdiam dan saling sibuk dengan pikiran masing-masing, tak lepas dari rasa sedih dan berat untuk berpisah.
“Kamu janjikan nggak akan melupakan aku, dan akan terus menjadikan aku yang pertama di hati kamu, janji ya? kamu sayang aku kan?!” ucapku memecahkan suasana, meyakinkan janji yang sempat kita ikrarkan tadi.
“Ya aku janji Key, kamu tenang saja. Dan aku akan terus menyayangi kamu. Ingat itu, kamu juga harus pegang janji ya!” Raka mengacak-acak rambut kriting mungilku. Aku tidak suka Raka mengacak-acak rambutku yang sudah terlihat berantakan karena kriting, setiap kali dia melakukannya aku selalu mengelak dan membalasnya dengan memencet hidung bangirnya sampai kesakitan. Tapi, untuk saat ini aku membiarkannya. Karena aku tahu setelah ini kita akan berpisah dan aku tak tahu kapan kita akan bertemu lagi. Mataku mulai berkaca-kaca.
“Yup! Janji bos… hati-hati di sana yah Ka, aku akan selalu merindukan kamu”. Raka melihat aku mulai menitikan air mata, dan dia mengusap air mata itu dengan ibu jarinya.
“Jangan nangis Key! nanti kelihatan tambah jelek lho. Entar kalau jelek aku jadi lupa sama janji kita,” canda Raka.
“Kamu kok gitu sich, jahat!” kupencet hidungnya keras-keras disusul pekikan Raka kesakitan. “Janji nggak! Nggak akan kulepasin ini hidung kalau kamu nggak janji!”
“Aduh Key, sakit! Lepasin donk! please… aku kan cuma bercanda. Kan tadi udah janji Key! Janji… janji… janji!” aku pun melepaskan hidung Raka yang memerah, dan nyengir bahagia.
“Nah, gitu donk!” ucapku mengelus-elus hidung Raka. “Tapi aku tahu kok kalau kamu bercanda, aku cuma sedih aja karena habis ini aku nggak bakal bisa mencet hidung kamu lagi”, tangisku mulai pecah lagi.
Raka mengelus-elus pipiku, terlihat rasa sayang di matanya dan dibalik mataku yang berair aku melihat mata dia berkaca-kaca. “Udah ya Ra, ntar kalau kita ketemu lagi kamu bisa kok pencet hidungku”. Tangisku pun makin keras. Raka hanya terdiam dan merangkulku. Aku tahu dia juga menangisi perpisahan ini.
Raka dan aku bersahabat dari kita kelas 1 SD. Kali pertama aku bertemu Raka ketika dia pindah ke rumah bercat biru indah milik nenek Tiwi, tetengga sebelah rumahku yang juga neneknya Raka. Sebelumnya, nenek Tiwi yang sering memintaku membantu beliau menyirami bunga pernah bercerita kalau dia juga punya cucu yang seumuran denganku yang waktu itu tinggal di kota lain. Aku yang waktu itu masih TK hanya bisa diam mendengarkan karena selama aku tinggal di sini aku tak pernah melihat cucu nenek Tiwi. Tapi ternyata beberapa bulan kemudian ketika tahun ajaran baru, Raka dan kedua orang tuanya berkunjung ke rumah nenek Tiwi beserta mengantarkan kepindahan Raka. Waktu itu aku bingung, kenapa kok ayah sama ibunya Raka meninggalkan Raka. Setelah aku tanyakan ke nenek Tiwi, beliau bilang kalau orang tua Raka harus pindah Dinas ke Luar Negeri, dan mereka tidak bisa mengajak Raka, dan nenek Tiwi mengusulkan agar Raka tinggal di rumah beliau.
Tanggapanku ketika kali pertama berkenalan, dia anaknya pendiam dan sulit didekati, tapi setelah aku yang pembawaannya ceria berusaha mendekati dia dengan berbagai cara, akhirnya dia mulai luluh dan mau berteman denganku. Karena sama-sama anak tunggal jadi kita bisa saling melengkapi, dengan mulai saling cerita, bercanda, dan hal yang sepele namun berarti bagi kita. Kita pun selalu dekat sampai saat ini di usia kita yang sama-sama 14 tahun, dan mengikat janji kalau kita akan selalu saling menyayangi, dan saling jadi yang pertama di hati kita tanpa adanya status selain sahabat, walau sebenarnya aku mulai ada rasa lain dengannya, dan aku hanya diam saja tanpa berani mengungkapkan karena aku takut hal itu akan menghancurkan persahabatan kita.
Sampai satu bulan kemarin, suasana duka menyelimuti rumah Raka atas meninggalnya nenek Tiwi karena usianya yang sudah senja. Aku ikut bersedih karena aku juga dekat sekali dengan beliau. Dan kesedihan itu semakin bertambah ketika tiga hari yang lalu Raka menyampaikan berita kalau dia harus pindah mengikuti kedua orangtuanya ke New York karena di sini dia sudah tidak punya siapa-siapa lagi. Aku yang hanya seorang sahabat bagi dia tidak bisa mengelak keputusan itu. Dan kami pun berusaha menghabiskan sisa waktu dengan bersenang-senang di taman hiburan dan tempat favorit kita yang lainnya, walau sebenarnya ada rasa pedih dihati kita mengingat sebentar lagi kita berpisah, tepatnya besok. Dan sekarang kita menghabiskan saat-saat terakhir di taman rumahku, dengan saling bercerita, berjanji, diselingi tangis.
*
4 tahun Kemudian.
Cuaca malam ini mengingatkanku pada malam perpisahkan kita, dengan bintang-bintang yang bersinar bersinar indah, diselingi aroma sisa hujan, sama persis dengan waktu itu. Aku memandangi bintang-bintang yang bersinar cerah dilangit dari ayunan yang selama ini sering aku duduki sendiri setelah kepergian Raka.
“Raka, aku merindukan kamu”, bisikku pilu, aku genggam bandul kalung bintang separuh yang dibelikan Raka untuk kita berdua di taman hiburan waktu itu, kalung persahabatan. Separuh dari bandul bintang itu di bawa Raka. Kita berdua berjanji kalau kita bertemu nanti kita akan satukan bintang itu, yang memang bisa terikat karena ada magnetnya, dan kalau bintang itu bersatu cahaya biru pelangi bersinar dari bandul kalung itu, bersinar indah. Aku merindukan Raka dan juga merindukan cahaya itu, yang selama 4 tahun ini tidak bersinar. Raka waktu itu berjanji di tahun ke 4 perpisahan kita, tepatnya hari ulang tahunku yang ke 18, dia akan berkunjung ke Indonesia dan menemuiku. Tapi nyatanya, selama 2 minggu setelah tanggal penetapan itu dia tidak hadir menemuiku atau memberi kabar sedikit pun padaku alih-alih kasih ucapan selamat, aku benar-benar kecewa. Ada apa dengan dia? Apakah dia sudah mulai melupakanku. Tapi, entah mengapa aku masih menunggu dia.
Selama ini kami hanya saling komunikasi via e-mail, kadang-kadang juga via telepon. Tapi, selama 3 bulan ini kami lost contact, di e-mail terakhirnya dia bilang kalau dia akan datang pada hari ulang tahunku. Tapi setelah hari H-nya berlalu dia mengingkari janjinya, aku kecewa. Berkali-kali aku kirim e-mail ke dia, namun tidak ada satu pun yang terbalas.
Hubungan aku dan Raka selama ini tanpa status selain bersahabat. Tapi di hari keberangkatannya, aku mengakui perasaanku padanya, dan dia membalasnya. Tapi aku masih bingung dengan kepastian hubungan kita, Raka tidak bilang iya atau tidak, tapi dia cuma bilang kalau dia juga mencintaiku. Pernah aku bertanya padanya tentang status hubungan kita, dia hanya bilang biarlah waktu yang menentukan. Dan aku hanya bisa menanti. Dan sampai saat ini aku pun tetap menanti.
*
Esok harinya, aku menerima kiriman paket yang beralamatkan New York. Pasti dari Raka. Segera aku beranjak ke ayunan taman, aku buka pembungkus paket itu, sebuah jam pasir dari kaca yang aku idam-idamkan selama ini. Raka ternyata masih ingat barang keinginanku. Aku baca surat yang terselip di kardus pembungkusnya.
Keyla, maaf jika aku ingkar janji padamu. Aku tak tahu apakah aku masih bisa menepati janji, karena aku sudah ingkar padamu. Maafkan aku Key, Maaf. Aku bukan orang yang pantas untukmu, dengan ketulusan hatimu yang murni aku tahu kamu pasti akan menemukan yang terbaik, tapi itu bukan aku. Cinta memang indah, seperti halnya cinta yang kita rajut, dari kita tak tahu APA cinta sampai kita mulai merasakannya pada diri kita berdua. Sesungguhnya aku ingin memperjuangkan cinta itu, tapi perjuanganku terkalahkan oleh rasa terpurukku bahwa aku bukan untukku. Tuhan mentakdirkan lain Key. Dan aku berfikir bahwa aku tak pantas untukmu, kamu terlalu baik, terlalu istemewa untuk aku sakiti. Aku tak menemukan cinta yang lain Key, karena aku akan selalu mencintaimu. Ketidakpantasanlah yang memisahkan kita.
Aku bukan orang yang seperti dulu lagi – ceria dan semangat akan perjuangan hidup – aku sekarang hanyalah seorang yang terpuruk dan tidak pantas buatmu. Maafkan aku Key. Cobalah lihat ke depan dan jangan pandang kebelakang lagi untuk mencariku, karena aku tak pantas untuk dicari.
Kamu selalu bertanya-tanya kepadaku tentang apa status hubungan kita, aku akan menjawabnya sekarang, bahwa kita hanyalah seorang sahabat dan tak lebih dari itu. Walau status kita sahabat, aku tak tahu apakah aku sahabat yang pantas untuk kamu. Kamu kaget ya kenapa aku pesimis, tapi memang inilah aku yang sekarang. Maafkan aku Key, maaf. Dan aku mohon jangan menantiku lagi. Karena aku tak tahu kapan aku bisa kembali padamu dengan aku yang seperti dahulu.
Dan dari jauh aku hanya bisa mengucapkan HAPPY BIRTHDAY KEYLA.
NB: jam pasir itu kamu jaga baik-baik ya, mungkin itu benda terakhir yang bisa aku berikan padamu dan yang paling kamu impikan, jam itu juga mempunyai arti bahwa hidupmu masih panjang. Dan maaf untuk saat ini, aku tak tahu sampai kapan, kita belum bisa menyalakan cahaya bintang bersama.
Yang menyayangimu,
Raka.
Raka, kenapa kamu seperti ini, tidak seperti yang aku kenal dulu yang optimis, dan berfikir positif akan kehidupan. Dari kata-katamu aku merasa kamu berubah dan menyerah akan hubungan kita. Apa yang terjadi padanya? Berbagai hal berkecamuk dalam pikiranku. Apakah Raka sudah mulai bosan padaku? Apakah dia benci pada penantianku? Atau apakah dia sudah menemukan cinta yang lain? Untuk yang terakhir itu aku tahu karena Raka mengatakan tidak. Karena Raka milikku, tapi bukan untukku. Aku bingang dengan semua ini, karena rasa ini terlanjur mengakar dan aku tak ingin memberikan hatiku pada yang lainnya. Air mata telah memburamkan mataku. Setiap kali mengingat dia, aku selalu menangis. Aku tak rela jika dia berpaling dariku. Terlalu menyakitkan. Karena rasa ini sudah terlanjur mengakar, aku tak tahu apakah aku bisa mencabutnya. Seandainya Tuhan memutuskan mengakhiri hidup salah satu diantara kita, lebih baik aku yang pergi lebih dahulu. Karena aku tak akan mampu melihat Raka pergi lagi, dan tak kembali. Dalam hati aku berdo’a semoga Raka bisa kembali kesisiku. Aku akan tetap menanti walau Raka melarangnya, karena aku merasa dia menyembunyikan sesuatu dariku. Jika Tuhan mengizinkan aku bertemu dengannya, aku akan meminta kepastian langsung darinya. Untuk saat ini aku hanya bisa berdo’a semoga Raka bisa kuat dalam mengarungi hidupnya dan bisa kembali seperti dulu.
Aku usap hidungku yang berair, ada sebercah noda merah di jariku, darah. Aku yang sering pusing tak menyangka kalau sampai mimisan. Segera aku basuh darah di hidungku dengan air dari pancuran di taman. Ah, aku pasti terlalu kelelahan dan banyak pikiran karena mengurusi kuliah baruku. Semangat Kay! Hari-harimu masih panjang, tegasku pada diri sendiri. Tapi ketegasan itu terkalahkan oleh raga dan hatiku yang terlalu lemah, pandanganku terasa buram dan aku tersungkur pingsan. Tanpa aku tahu, Tuhan telah mendengar do’aku.
***
Aku pandangi pusara makan Keyla yang baru saja dibersihkan dan ditaburi bunga juga dido’akan. Sebenarnya aku masih shock dengan kenyataan ini. Kenapa dia pergi secepat itu, sebelum aku datang dan kembali seperti dulu. Seperti inikah takdir berbicara. Semua ini memang salahku, karena aku Keyla jadi putus semangat dalam memperjuangkan hidupnya, karena aku Keyla jadi merasa lemah. Maafkan akau Keyla. Semua itu bermula gara-gara benda haram itu. Aku terjerumus karena aku terlalu sakit hati melihat kenyataan keluargaku, mama selingkuh dan papa bunuh diri karena terlalu mencintai mama. Dan aku hidup sebatangkara dengan benda haram itu. Tapi Tuhan masih memperhatikanku, dengan bantuan seorang terman yang menolong aku ketika sakau dan membawaku ke panti rehabilitasi. Dan sekarang aku sudah sembuh setelah setahun dikarantina, tapi Keyla terlanjur pergi ketika aku kembali untuk meminta maaf padanya dan menjelaskan semua karena kangker otak sudah memutuskan takdirnya.
“Nak, kamu jangan putus asa karena semua ini, kita memang harus berusaha dalam mengarungi hidup, tapi takdirlah yang menentukan, dan Keyla juga telah berjuang. kamu sabar ya… ibu juga sudah pasrah dan menerima semua kehendak-Nya,” ibu Keyla menyodorkan selembar surat padaku. “Sebelum dia koma dan pergi, dia menitipkan surat ini pada ibu untuk di berikan pada kamu ketika kamu kembali mencarinya. Segera aku buka surat itu yang disertai kalung Keyla.
Hai Raka,
Ketika kamu membaca surat ini, mungkin aku sudah pergi jauh ke alam sana. Aku sudah berjuang Ka, tapi Tuhanlah yang menentukan semua. Dan aku tidak menyesal atas takdir ini. Yang aku sesali adalah aku tak bisa berbagi semangat dengan kamu. Tapi sudahlah, aku yakin saat ini kamu sudah kembali seperti dulu lagi. Kamu jangan merasa bersalah ya Ka dan aku nggak akan marah padamu, dari awal aku juga memaafkanmu dan menerima kenyataan. Sebenarnya dalam sisa hidupku ini, aku berharap bisa bertemu terakhir kalinya dengan kamu. Tapi pertemuan kita malah di tempat aku berakhir. Manusia hanya bisa berharap tapi Tuhanlah yang menentukan. Sejujurnya aku ingin sekali bertemu denganmu untuk mengetahui kenapa kamu bisa berubah seperti itu. Setiap hari aku selalu bertanya-tanya. Tapi tak ada seorang pun yang mampu menjawabnya selain dirimu. Sampai sekarang aku pun tak tahu, tapi di sisa hidupku aku selalu mendo’akan semoga kamu menemukan jalan yang terbaik, dan kembali padaku. Memang sekarang kamu kembali padaku namun kamu tidak ditakdirkan untukku.
Raka, kamu jangan nangis ya… karena kamu dulu juga melarang aku menangis ketika kamu pergi. Dan aku berharap kamu akan lebih bahagia lagi dalam hidupmu ke depan. Dan aku juga berharap kamu menemukan cinta sejati. Aku memang mencintai kamu dan masih mencintai kamu, tapi sekarang cinta sejatiku adalah di sisi-Nya.
Terima kasih, karena kamu aku bisa merasakan cinta, karena kamu aku mau berjuang hidup, karena kamu aku bahagia.
Maaf Ka, karena aku telah ingkar janji, karena aku tak berada di sisimu ketika kamu rapuh, karena aku gagal untuk bertahan.
Tapi, cintaku padamu bukan karena, tapi walaupun. Walaupun kamu berubah, walaupun kamu lemah, walaupun kamu jahat padaku. Aku tetap mencintai kamu. Kamu harus mengingat kata walaupun itu disaat cinta sejatimu hadir.
Dan kamu harus tetap SEMANGAT ya KA! SEMANGAT!
Dan jaga ibuku tersayang ya… karena beliau juga tidak memiliki siapa-siapa lagi setelah kepergian ayah dan aku. Dan juga jangan lupa jaga jam waktu itu untukku karena waktu dan takdir masih berpihak padamu, dan nyalakan cahaya bintang kita, untuk menerangi hari-harimu ke depan juga jiwamu yang rapuh (tapi aku tak memintamu untuk berjanji, karena janji bisa terkalahkan oleh takdir).
Yang mencintai dan menyayangimu.
Keyla.
Karena matahari hampil tenggelam, aku dan ibu Keyla segera beranjak meninggalkan makam dengan rasa berat tapi perasaan yang ikhlas. Terima kasih Keyla karena mengingat semangatmu dan do’amu, aku menjadi diri sendiri seutuhnya. Aku pandangi rumah terakhir Keyla yang dia huni 5 bulan lalu terakhir kali. Setelah itu kubimbing ibu kembali. Mulai saat ini aku akan berusaha untuk menepati janji bahwa aku akan berjuang sampai sisa hidupku dan menjaga perempuan yang di cintai Keyla juga aku cintai dengan tulus, tapi bukan janji yang terdahulu.
Aku hancur ku terluka
namun engkau lah nafasku
Kau cintaku meski aku bukan di benakmu lagi
Dan ku beruntung sempat memilikimu
Yovie & Nuno
Lamongan, 25 September 2009
***
Labels: CerPen