YANG PERTAMA
Aku menatap cermin di depanku dengan pandangan miris, putus asa. Apakah memang ini akhir dari masa-masa indahku? Aku bertanya pada sosok dicermin dengan gusar. Apakah karena aku tidak lebih baik dari perempuan itu? Apakah karena diharuskan memilih yang pertama maka yang lainnya tersisihkan. Adilkah itu? Mengapa? Sosokku di cermin hanya memandang miris. Menatapku balik.
Aku masih ingat dengan jelas apa yang di katakan olehnya, laki-laki yang aku cintai namun yang lebih memilih perempuan lain.
“Maafkan aku Ra, bukannya aku tidak mencintai kamu. Tapi aku harus memilih. Dan aku memilih pilihan orang tuaku. Karena aku tidak ingin mengecewakan mereka. Maafkan aku….”, ucapnya dengan ekspresi memohon. Aku memandang laki-laki yang aku cintai itu dengan sorot dingin tidak percaya.
“Apakah benar karena itu? Mengapa kamu tidak mau menolaknya kalau kamu benar-benar mencintaiku? Kamu tahu kan aku mencintai kamu kan???! Mengapa kamu tidak mau berjuang??!” cecarku emosi.
Aku benar-benar tidak habis pikir dengan laki-laki yang 2 tahun berpacaran denganku ini.
“Mengapa tidak kamu tolak saja keinginan orang tua kamu dengan cara halus. Pasti mereka mau mengerti…” lanjutku lirih.
“Maafkan aku Ra.. aku tidak bisa…”. Dia menunduk resah, yang membuat aku curiga pasti ada alasan lain.
“Mengapa kamu jadi seperti ini? Tatap aku, aku ingin tahu alasan kamu sebenarnya. Please… jangan sembunyikan ini semua dari aku. Jika alasan kamu tepat aku akan.. rela melepaskan kamu.” Aku merasa aku terlalu memaksa keadaan. Kalau di pikir secara logika tetang keputusannya memutuskan aku karena alasan tersebut, aku pasti bisa menerimanya karena aku juga tidak bisa membantah keinginan orang tuaku jika aku berada di posisinya, dan orang tuaku pasti tidak seperti orang tuanya yang cara berfikirnya masih kolot. Tapi aku memikirkannya dengan perasaan, selama dua tahun kita berpacaran untuk menggapai masa depan bersama mengapa hasilnya malah seperti ini. Seperti hilang tiba-tiba.
“Anjar….??” Tanyaku menatap matanya yang resah. “please jawab pertanyaanku….”, ucapku dengan nada putus asa.
“Karena….. karena dia… cinta pertamaku Ra”, jawabnya lirih. “Maafkan aku…”.
Aku terhenyak mendengar pengakuannya. “Baiklah kalau itu memang keputusan kamu”, ucapku lirih.
Kalau memang menyangkut perasaan dia yang masih mencintai cinta pertamanya, lebih baik aku mengalah, cintaku terkalahkan oleh yang pertama. Aku harus kuat karena hidup akan terus berlanjut walau hatiku mati rasa.
Aku masih menatap cermin di depanku dengan pandangan kalut. Resah. Padahal sudah satu bulan ini aku mencoba menangkan perasaan hatiku yang masih tidak bisa menerima keadaan. Semakin mendekati hari H. aku semakin gelisah. Ya, hari H itu adalah sebuah pernikahan. pernikahannya, bukan pernikahanku. Dan aku sebagai undangan harus datang atas keputusanku sendiri. aku tidak ingin di anggap bahwa aku masih meratapi perpisahan ini, aku ingin terlihat tegar dan mampu mengatasi perasaanku ini dengan mendatangi pernikahannya. Dan aku yakin pasti bisa namun sekarang ketegaranku luruh hilang, apakah lebih baik aku menghidar? Bodoh jika kamu menghindar Ra! jawab hati kecilku yang lain. Tapi aku takut... takut tidak mampu menyaksikan semua ini.
Aku menatap diriku lagi di cermin, Yah! aku akan datang, dan akan aku buktikan kalau aku mampu menghadapi ini. Aku bisa! Bergegas aku mengambil tas tanganku. Dan beranjak pergi meninggal cermin yang menyaksikan keputusasaanku. Yah! sudah dari tadi aku berdandan cantik untuk menghadiri acara pernikahannya, dan ketika tadi menatap sosok diriku di cermin yang menatap miris, aku mulai putus asa.
*
Dan sekarang aku di sini, menatap kedua mempelai dengan senyuman yang terlihat bahagia, seperti kebanyakan tamu disini walau sebenarnya hatiku sakit. Aku salami memperlai wanita dan mempelai laki-laki, yang tak lain adalah orang yang pernah mengisi hatiku. "Selamat menempuh hidup baru ya... aku do'aan kalian bahagia selamanya", ucapku tulus. " terima kasih", jawab mereka berdua, dan aku lihat tatapkan laki-laki depanku terlihat kuatir. Mungkin takut aku mengamuk tiba-tiba, tawaku dalam hati, getir. Aku menjawab dengan senyuman dan pergi meninggalkan mereka berdua dengan tamu lainnya, Sekaligus meninggalkan hatiku yang luka di sana. Pada cinta pertamaku.
"Cinta tidak harus memiliki kan?? maka pergilah.." itulah kalimat terakhir yang aku ucapkan ketika melepaskannya pergi. Dan sekarang apakah aku menyesalinya?? aku sendiri tak tahu jawabannya. biarkanlah waktu yang berbicara. Ikhlaskah???
***