Rabu, 02 Desember 2009

Cerpen 3

SANG PENGARANG DAN SANG PEMBACA



Aku menatap jam digital dan kalender dari handphoneku, ternyata waktu berlalu begitu cepat. Sudah tenggat 4 hari dari target 7 hari yang aku tetapkan, aku masih belum bisa menulis apa-apa, padahal dedline sudah semakin dekat, dan editorku sudah mewanti-wantiku. Aku masih bingung dengan cerita yang tiba-tiba macet dari pikiranku, tidak ada bayangan apapun tentang akhir cerita yang sudah akan mencapai akhir, apakah akhirnya akan bahagia, ataukan aku buat sedih, jika bahagia makan tetap akan ada yang sedih, jika sedih akan ada kebahagiaan yang terkubur, tapi jika menggambang, aku benci hal-hal yang menggambang, tidak ada akhir dari jawaban yang aku inginkan. Padahal setiap kali aku akan tidur selalu ada bayangan cerita-cerita apa yang ingin aku tulis, namun jika aku dihadapkan pada komputer, semuanya macet total, dan aku benci hal itu. Apa yang membuatku pikiranku macet seperti ini? Uh, benar-benar memuakkan. Padahal di cerita-ceritaku yang lalu aku lancar dalam membuatnya. Apa mungkin benar tentang istilah yang pernah aku dengar bahwa seorang pengarang bisa disamaratakan dengan orang gila. Gila akan hayalan-hayalannya, dan apabila bayangan hayalan itu menghilang, dia akan merasa kehilangan dirinya, dan ternyata aku merasa seperti itu.

Salahkah jika aku menjadi seorang pengarang? Menurutku tidak, karena ketika aku masih diambang antara ingin menjadi seorang pengarang dan bingung akan jadi apa nanti bila aku gagal dalam targetku. Aku malah membulatkan tekad untuk menhancurkan penghalang yang ada dalam pikiranku. Dan disaat aku pertama mencoba menulis hayalan-hayalan yang selama ini masih menggambang dalam pikiranku, aku masih gagal, dan kegagalan itu mebuatku putus asa. Berhari-hari aku memikirkannya, apakah ini benar? Dalam perenungan yang panjang akhirnya aku mencoba lagi. Aku mulai menulis alias mengetik di komputerku tentang sebuah cerita, karena sebenarnya aku benci menulis. Aku ingin jadi pengarang tapi aku benci menulis, aneh! Tapi itulah aku. Aku sang pengarang tapi aku bukan sang penulis, padahal sang penggarang adalah gabungan sang penulis, tapi menurutku aku bukan sang penulis, tapi aku sang pengetik, istilah yang konyol, tapi itulah kenyataannya. Alasan aku benci menulis adalah karena tulisanku buruk sekali, padahal aku mencoba menulis serapi-rapinya, tapi rasanya tetap terihat buruk.

Ceritaku yang pertama akhirnya berhasil aku tulis, namun isi ceritanya ternyata gagal, karena ketika aku baca ulang, aku benci ceritanya. Aku membuat cerita yang berakhir seperti yang tidak aku harapkan, padalah ketika aku mengetik aku menginginkan akhir yang seperti itu, namun jika aku menjadi seorang pembaca, aku benci pada cerita itu, terasa memuakkan. Kemudian aku berfikir ulang, apakah lebih baik aku megarang cerita tentang hidupku saja? Kemudian aku mencobanya. Aku menceritakan tentang masa laluku yang buruk, yang ketika itu aku alami lagi di saat aku mengarang ceritanya - sebenarnya aku menulisnya dengan tulisanku yang buruk karena aku belum mempunyai komputer - kenapa aku menulis masa laluku yang buruk? Karena aku bisa lebih mengekspresikan keadaanku dengan kalimat-kalimat yang kejam, dari imajinasiku akan bencinya aku waktu itu pada sekelilingku. Yah, sebenarnya aku tidak berniat menulis cerita itu, tapi berhubung aku dapat jatah menulis madding, akhirnya aku menulisnya, dan tulisanku itu berhasil menyindir orang-orang yang aku benci, rasanya melegakan. Karena itulah aku merasa tertantang untuk mengarang, untuk meluapkan semua emosiku baik positif maupun negatif ke dalam kata-kata. Dan berkat itulah, jadilah aku yang sekarang, Sang Pengarang.

Semua cerita yang aku buat berasal dari mimpi-mimpi dan hayalanku, yang sebenarnya tercipta ketika aku akan tidur. Semua itu berawal ketika salah seorang guruku berkata, ”Sebelum tidur pikirkanlah kejadian-kejadian yang kamu alami dari tadi terbangun dari tidur hingga menjelang tidur, tentang dosa yang kamu perbuat, dan pengalaman yang berharga untuk kamu simpan, agar kamu tidak menyesalinya kelak”. Semula aku meremehkan kalimat itu, tapi ketika aku dihadapkan pada sebuah masalah, tiba-tiba kalimat itu terlintas dalam pikiranku. Dan aku mencobanya, ternyata berhasil, karena aku lebih menghargai hidup. Kenapa bisa nyambung dengan awalnya aku ingin jadi pengarang? Karena jika kita lebih memikirkan kalimat itu lebih mendalam, kamu akan menemukan arti yang sebenarnya. Dan arti yang sebenarnya menurutku adalah aku mengarang karena aku merasa tentram jika menceritakannya. Dimulai dari pengalamanku sendiri, berlanjut ke cerita dan hayalan yang lainnya.

Kadang ada pemikiran yang mengatakan, ”Jangan banyak berhayal, karena berhayal itu membuat kamu lupa daratan”, tapi bagiku tidak, karena aku mengambil kata menghayal untuk sesuatu yang positif, hayalan = mimpi, dan mimpi adalah kunci untuk kesuksesan (mimpi adalah kunci untuk kita menaklukkan dunia, nidji (laskar pelangi)).

Ah ternyata pemikiranku sedikit panjang, dimulai dari aku melihat jam dan kalender di handphoneku sampai terbawa-bawa ke laskar pelangi. Walau sebenarnya aku ingin meceritakan dengan lebih panjang lagi. Tentang karanganku yang ketiga, keempat, kelima, sampai yang macet saat ini. Sebenarnya, aku sendiri bingung tentang ceritaku yang satu ini, saat aku baca ulang, aku merasa muak, apa mungkin bakatku mulai menghilang ya??? Naudzubillah..., atau niatku yang kurang tulus???

Berbicara tentang niat, sebenarnya niat awalku mengarang itu untuk mengespresikan perasaanku, kemudian berlanjut ingin di baca oleh orang lain, dan sekarang berlanjut ingin mencari honor. Apakah karena gara-gara ingin mencari honor, bakatku jadi macet? Yang aku pikirkan Cuma honor, honor dan honor. Yah, itulah sifat asli manusia. Dan itu menimpaku juga.

Ketika aku merasa ingin mengekspresikan perasaanku lewat mengarang/ menulis, itu dimulai dari kesukaanku akan membaca, terutama membaca cerita novel, maupun cerpen. Aku merasa seseorang yang menulis cerita itu benar-benar orang yang cerdas, yang bisa mengekspresikan bakatnya. Dan aku berfikir dengan mengarang seseorang bisa menciptakan kehidupan dalam suatu cerita. Dan menurutku itu sangat menyenangkan. Tapi, aku tidak mampu melakukannya.

Sebelum tidur, aku selalu merenungkan hal itu, dari alur cerita yang membuatku kagum akan pengarangnya, hingga berlanjut pada kalimat yang diucapkan guruku tadi. Berhari-hari, berbulan-bulan, bertahun-tahun, aku memikirkannya, bisa diistilahkan merenung sampai mati, tapi syukurlah Tuhan masih belum mematikanku. Dari perenungan itu, aku mulai mencari-cari biografi para pengarang yang aku kagumi lewat internet, aku membacanya berkali-kali, dan aku makin kagum pada mereka. Dan aku benar-benar ingin menjadi mereka. Tapi, apakah aku bisa? Aku yang waktu itu masih ciut keberaniannya alias minderan, berfikir pesimis. Ah, tidak mungkin aku bisa! Aku kan hanya manusia kecil yang diciptakan Tuhan dari sisa-sisa yang terbuang. Kenapa juga aku berhayal terlalu tinggi? Motifasiku masih kurang waktu itu. Dan aku masih belum berani bercerita apa-apa pada orang lain. Terlalu pendiam.

Waktu semakin berlalu, dan aku tak mau mecoba mengarang sedikitpun. Yang bisa aku lakukan hanyalah menjadi sang pembaca sejati, dan aku berfikir mungkin takdirku adalah menjadi Sang Pembaca. Sampai suatu ketika, ketika kedewasaan mulai menjamahku, ketika waktu mulai menjawabnya, tanpa aku sadari bahwa aku mampu mengarungi hari-hariku yang terasa buruk, aku mendengar suatu kalimat, yang sebenarnya ketika dulu sering digaung-gaungkan oleh guruku tapi aku remehkan, ialah ”Saya dan dia yang hebat sama-sama makan nasi, kenapa saya berfikir pesimis. Sama-sama makan nasi, berarti saya adalah manusia yang derajatnya sama dengan dia”, dalam perenunganku yang tersadarkan, aku berfikir, benar juga kata-kata itu, aku sendiri saja yang terlalu naif sehingga meremehkannya. Dengan pemikiran seperti itu, aku mulai merasa bersemangat menjalani hidup. Kuarungi lautan, kuarungi samudara – telalu berlebih-lebihan sebenarnya - aku akhirnya menjadi seperti ini. Sang Pengarang dan Sang Pembaca. Walau sebenarnya rintangan masih panjang, tergantung sepanjang apa hidupku kelak, tapi bagiku yang penting saat ini aku tidak berfikir negatif lagi tentang diriku sendiri. Aku mulai merasa mampu untuk menapaki tangga kehidupan, walau terkadang sifat asliku itu muncul kembali. Tapi aku yakin aku pasti bisa melampauinya. Walau sekarang aku belum bisa melampaui ujianku yang satu ini, tentang bagaimana akhir ceritaku yang belum selesai kelak.

Ah, sang pengarang memang ahli dalam mengarang, dan sang pembaca memang ahli dalam membaca. Mengarang terasa sangat menyenangkan. Karena yang sebenarnya, sang pengarang belum melewati fase apapun, apalagi fase honor. Sang pengarang masih mengarungi fase sang pembaca, dan sang penghayal. Tidak ada jam dan kalender handphone, tida ada dikejar dedline, maupun editor. Aku sang pengarang dan sang pembaca yang hanya dikejar oleh waktuku sendiri, hanya mencoba-coba. Karena sebenarnya sang pengarang dan pembaca hanyalah manusia yang masih terombang ambing antara optimis dan pesimis. Dan aku mengarang ini, untuk menguatkan rasa optimisku sendiri. Dan mungkin jika ada yang mau membacanya (untung-untungan) merasakan bion-bion semangatku. Semoga.

***


0 Comments:

Post a Comment